Selasa, 19 Mei 2009

Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi
Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.
Kita mulai dengan suatu asumsi dasar bahwa komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku manusia.
Ketika kita berbicara, kita sebenarnya sedang berperilaku. Ketika kita melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukkan kepala, atau memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku. Sering perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan; pesan-pesan itu digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang.
Sebelum perilaku tersebut dapat disebut pesan, perilaku itu harus memenuhi dua syarat. Pertama, perilaku harus diobservasi oleh seseorang, dan kedua, perilaku harus mengandung makna. Dengan kata lain, setiap perilaku yang dapat diartikan adalah suatu pesan.
Bila kita memeriksa pernyataan akhir tersebut, kita dapat menemukan beberapa implikasi. Pertama, kata setiap menunjukan kepada kita, baik perilaku verbal ataupun perilaku nonverbal dapat berfungsi sebagai pesan. Pesan verbal terdiri dari kata-kata terucap atau tertulis (berbicara dan menulis adalah perilaku-perilaku yang menghasilkan kata-kata), sementara pesan nonverbal adalah seluruh perbendaharaan perilaku lainnya.
Kedua, perilaku mungkin disadari ataupun tidak disadari. Kadang-kadang kita melakukan sesuatu tanpa menyadarinya, terutama kalau perilaku kita itu bersifat nonverbal. Kebisaaan-kebisaaan seperti menggigit kuku jari tangan, menganggukan kepala, menatap, dan tersenyum, misalnya, seringkali berlangsung tanpa disadari. Bahkan perilaku-perilaku seperti duduk membungkuk di kursi, mengunyah permen karet, atau menyesuaikan letak kacamata, seringkali merupakan perilaku-perilaku tak disadari. Oleh karena suatu pesan terdiri dari perilaku-perilaku yang dapat diartikan, kita harus mengakui kemungkinan memberikan pesan yang tidak kita ketahui.
Implikasi ketiga dari pesan-perilaku ini adalah bahwa kita sering berperilaku tanpa sengaja. Misalnya, bila kita malu kita mungkin menampilkan muka yang bersemu merah atau berbicara tidak lancar. Kita tidak bermaksud untuk menampilkan muka yang merah atau suara yang gagap, tetapi toh kita berperilaku demikian. Perilaku yang tidak disengaja ini menjadi pesan bila seseorang melihatnya dan menangkap suatu makna dari perilaku itu.
Dengan konsep mengenai hubungan-hubungan perilaku sadar-tak sadar dan sengaja-tak sengaja ini, sekarang kita siap merumuskan suatu definisi komunikasi. Di sini, komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak dan menyengajanya atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk tidak berperilaku. Setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Maka tidaklah mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi; dengan kata lain, kita tak dapat tidak berkomunikasi.
Konsep perilaku yang disinggung dalam definisi di atas juga meliputi segala sesuatu sebagai rekaman atau akibat dari tindakan-tindakan kita. Misalnya, tulisan ini adalah suatu akibat perilaku dari perilaku-perilaku tertentu. Sebagai penulis tulisan ini kami harus berpikir, menulis, dan mengetik. Contoh akibat perilaku adalah bau asap rokok yang tercium di sebuah tangga setelah perokoknya meninggalkan tempat itu. Merokok adalah suatu perilaku; bau asap rokok akibat dari perilaku tersebut. Makna yang anda berikan kepada bau tersebut merupakan refleksi pengalaman-pengalaman lalu anda dan sikap anda terhadap rokok, merokok, merokok ditempat umum, dan mungkin orang-orang yang merokok.
Pendekatan kita terhadap komunikasi berfokus pada pemberian makna kepada perilaku. Pemberian di sini berarti bahwa kita memberikan makna yang telah kita miliki kepada perilaku yang kita observasi di lingkungan kita. Kita boleh membayangkan bahwa ada suatu perbendaharaan makna yang kita miliki di suatu tempat dalam otak kita. Berbagai makna ini telah tumbuh sepanjang hidup kita sebagai akibat dari pengaruh budaya kita terhadap kita dan sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman pribadi dalam budaya tersebut.
Makna adalah relative bagi kita masing-masing, oleh karena kita masing-masing adalah seorang manusia yang unik dengan suatu latar belakang dan pengalaman-pengalaman yang unik pula. Ketika kita mengamati suatu perilaku dalam lingkungan kita, kita masing-masing menukik ke perbendaharaan makna kita yang unik dan memilih makna yang kita yakini sebagai makna paling pantas bagi perilaku yang kita amati dan konteks sosial di mana perilaku itu terjadi. Bisanya proses ini berlangsung lancar, tetapi kadang-kadang macet dan kita salah menafsirkan suatu pesan-kita memberi makna yang salah kepada perilaku yang telah kita amati.
Batasan tentang komunikasi juga akan merinci unsur-unsur komunikasi dan beberapa dinamika yang terdapat dalam komunikasi.
Pertama, komunikasi itu dinamik. Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah. Sebagai para pelaku komunikasi, secara konstan kita dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai konsekuensinya, kita mengalami perubahan yang terus menerus. Setiap orang kita dalam hidup sehari-hari bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dan orang-orang ini mempengaruhi kita. Setiap kali kita terpengaruh, kita berubah, seberapa kecil pun perubahan itu. Itu berarti bahwa kita menjalani hidup ini sebagai orang-orang yang terus menerus berubah orang-orang dinamik.
Kedua, komunikasi itu interaktif. Komunikasi terjadi antara sumber dan penerima. Ini mengimplikasikan dua orang atau lebih yang membawa latar belakang dan pengalaman unik mereka masing-masing ke peristiwa komunikasi. Latar belakang dan pengalaman mereka tersebut mempengaruhi interaksi mereka. Interaksi juga menandakan situasi timbal balik yang memungkinkan setiap pihak mempengaruhi pihak lainnya. Setiap pihak secara serentak menciptakan pesan yang dimaksudkan untuk memperoleh respons-respons tertentu dari pihak lainnya.
Ketiga, komunikasi itu tak dapat dibalik (irreversible) dalam arti bahwa sekali kita mengatakan sesuatu dan seseorang telah menerima dan men-decode pesan, kita tak dapat menarik kembali pesan itu dan sama sekali meniadakan pengaruhnya. Sekali penerima telah dipengaruhi oleh suatu pesan, pengaruh tersebut tidak dapat ditarik kembali sepenuhnya. Sumber bisa jadi mengirimkan lagi pesan-pesan lainnya untuk mengubah efek pesan, tetapi efek pertama tak dapat ditiadakan. Ini sering merupakan masalah ketika kita secara tak sadar atau tak sengaja mengirim suatu pesan kepada seseorang. Pesan kita mungkin menimbulkan pengaruh yang merugikan dan kita tidak mengetahuinya. Maka dalam interaksi berikutnya kita mungkin heran mengapa orang itu bereaksi kepada kita dengan cara yang aneh.
Keempat, komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Ketika kita berinteraksi dengan seseorang, interaksi tidaklah terisolasi, tetapi ada dalam lingkungan fisik tertentu dan dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik meliputi objek-objek fisik tertentu seperti mebel, gorden jendela, karpet, cahaya, keheningan atau kebisingan, tumbuh-tumbuhan, ada atau tidak adanya kesemrawutan, pesan-pesan lain yang menyaingi, dan sebagainya. Banyak aspek lingkungan fisik yang dapat dan memang mempengaruhi komunikasi : kenyamanan atau ketidaknyamanan, kursi, warna dinding, atau suasana ruangan keseluruhan, adalah sebagian kecil saja dari lingkungan ini. Arti simbolik lingkungan fisik juga mempengaruhi komunikasi. Sebagai contoh, ingatlah pembincaraan perdamaian di paris yang menghabiskan waktu banyak untuk memutuskan bentuk meja yang dapat dierima semua pihak. Meskipun tampaknya tidak penting, hal itu justru penting sekali bagi para perunding, oleh karena suatu meja dengan sisi yang sama secara simbolik menunjukan kesederajatan semua pihak yang mengitari meja itu.
Konteks sosial menentukan hubungan sosial antara sumber dan penerima. Perbedaan-perbedaan posisi seperti guru-murid, atasan-bawahan, orangtua-anak, laksamana-pelaut, kawan-musuh, dokter-pasien, dan sebagainya, mempengaruhi proses komunikasi. Dan sering lingkungan fisik turut menentukan konteks sosial. Atasan duduk di belakang meja sementara bawahan duduk di depannya untuk menerima teguran. Hakim di ruang pengadilan duduk dengan posisi sedemikian rupa, menunjukan keistimewaan sosialnya di ruangan tersebut.
Bagaimanapun konteks sosial tersebut, akan mempengaruhi komunikasi. Bentuk bahasa yang digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukan kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara dengan siapa, dan derajat kegugupan atau kepercayaan diri yang diperlihatkan orang, semua itu adalah sebagian saja dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial.
Kita harus paham sekarang bahwa komunikasi manusia tidak terjadi dalam “ ruang hampa” sosial. Alih-alih, komunikasi merupakan suatu matriks tindakan-tindakan sosial yang rumit dan saling berinteraksi, serta terjadi dalam suatu lingkungan sosial yang kompleks. Lingkungan sosial ini merefleksikan bagaimana orang hidup, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lainnya. Lingkungan sosial ini adalah budaya, dan bila kita ingin benar-benar memahami komunikasi, kita pun harus memahami budaya.
BUDAYA
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang berbicara bahasa Tagalog, memakan ular, menghindari menuman keras terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yang mati, berbicara melalui telpon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung unsur-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkan dengan komputer elektronik: kita memrogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memrogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Kosekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antarbudaya. Namun, apa yang terutama menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja memadai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik yang harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. Kini kita akan mendefinisikan komunikasi antarbudaya dan membahasnya melalui perspektif suatu model. Kemudian kita akan melihat pula berbagai bentuk komunikasi antarbudaya.
Hubungan antarbudaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Seorang Batak, seorang Jawa atau seorang Sunda belajar berkomunikasi seperti orang-orang Batak, orang-orang Jawar, atau orang-orang Sunda lainnya. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau bsuatu peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan, dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya.sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Untuk menyederhanakan dan membatasi pembahasan kita, kita akan memeriksa beberapa unsur sosio-budaya yang berhubungan dengan persepsi, proses verbal dan proses nonverbal.
Unsur-unsur sosio-budaya ini merupakan bagian-bagian dari komunikasi antarbudaya. Bila kita memadukan unsur-unsur tersebut, sebagimana yang kita lakukan ketika kita berkomunikasi, unsur-unsur tersebut bagaikan komponen-komponen suatu sistem streo-setiap komponen berhubungan dengan dan membutuhkan komponen lainnya. Dalam pembahasan kita, unsur-unsur tersebut akan dipisahkan guna mengidentifikasi dan mendiskusikannya satu persatu. Dalam keadaan sebenarnya, unsur-unsur tersebut tidak terisolasi dan tidak berfungsi sendiri-sendiri. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang sedang berinteraksi yang beroperasi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang disebut komunikasi antarbudaya.

Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi dunia yang sedemikian rupa pula. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Baik dalam menilai kecantikan atau melukiskan salju, kita memberikan repons kepada stimuli tersebut sedemikian rupa sebagaimana yang budaya kita telah ajarkan kepada kita. Kita cenderung memperhatikan, memikirkan dan memberikan respons kepada unsur-unsur dalam lingkungan kita yang penting bagi kita. Di Amerika Serikat, orang mungkin merespons terutama ukuran dan harga sesuatu, sedangkan bagi orang Jepang, warna mungkin merupakan criteria yang penting. Budaya cenderung menentukan criteria mana yang penting ketika kita mempersepsi sesuatu.
Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi ini. Untuk memahami dunia dan tindakan-tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya. Kita harus belajar memahami bagaimana mempersepsi dunia. Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Tetapi karakter budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan oleh karenanya, membawa kita kepada persepsi yang berbeda-beda atas dunia eksternal.
Tiga unsur sosio-budaya mempunyai pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude); pandangan dunia
(world view), dan organisasi sosial (sosial organization). Ketika ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi kita dan makna yang kita bangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif. Kita semua mungkin melihat entitas sosial yang sama dan menyetujui entitas sosial tersebut dengan menggunakan istilah-istilah yang objektif, tetapi makna objek atau peristiwa tersebut bagi kita sebagai individu mungkin sangat berbeda. Seorang Batak dan seorang Jawa akan setuju secara objektif bahwa seseorang tertentu adalah seorang wanita. Tetapi kemungkinan besar mereka tidak akan setuju tentang apa arti seorang wanita secara sosial. Masing-masing dari ketiga unsur utama sosio-budaya tersebut akan dibahas untuk menunjukan bagaimana unsur-unsur tersebut mempengaruhi persepsi.

Sistem kepercayaan, Nilai, dan Sikap.
Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang diprcayai dan karateristik-karateristik yang membedakannya. Derajat kepercayaan kita mengenai suatu peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu menunjukan tingkat kemungkinan subjektif kita dan konsekuensinya, juga menunjukan kedalaman atau intensitas kepercayaan kita. Tegasnya, semakin pasti kita dalam kepercayaan kita, semakin besar pulalah intensitas kepercayaan tersebut.
Budaya memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan kepercayaan. Apakah kita menerima Barita Batak, Bibel, daun-daun teh, itu bergantung pada latar belakang budaya dan pengalaman-pengalaman kita. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau hal yang salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Bila seseorang percaya bahwa suara angina dapat menuntun perilaku seseorang ke jalan yang benar, kita tidak dapat mengatakan bahwa kepercayaan itu salah; kita harus dapat mengenal dan menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin melakukan komunikasi yang sukses dan memuaskan.
Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan, kebaiakn, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Meskipun setiap orang mempunyai suatu tatanan nilai yang unik, terdapat pula nilai-nilai yang cenderung menyerap budaya. Nilai-nilai ini dinamakan nilai budaya-budaya.
Nilai-nilai budaya bisaanya berasal dari isu-isu filosofis lebih besar yang merupakan bagian dari suatu milieu budaya. Nilai-nilai ini umumnya normative dalam arti bahwa nilai-nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apayang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu, positif dan negatif, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya menentukan bagaimana orang layak mati dan untuk apa, apa pantas dilindungi, apa yang menakutkan orang-orang dan sistem sosial mereka, hal-hal apa yang patut dipelajari dan dicemoohkan, dan peristiwa-peristiwa apa yang menyebabkan individu-individu memiliki solidaritas kelompok. Nilai-nilai budaya juga menegaskan perilaku-perilaku mana yang penting dan perilaku-perilaku mana pula yang harus dihindari. Nilai-nilai budaya adalah seperangkat aturan terorganisasikan untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangi konflik dsuatu masyarakat.
Nilai-nilai dalam suatu budaya menampakan diri dalam perilaku para anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Nilai-nilai ini disebut nilai-nilai normative. Maka, orang-orang katolik dituntut untuk menghadiri misa, para pengendara dituntut untuk berhenti berhenti ketika tanda lalu lintas menunjukan berhenti, dan para pekerja dituntut untuk datang di tempat kerja pada waktu yang telah ditetapkan. Kebanyakan orang melaksanakan perilaku-perilaku normative; sedikit orang tidak. Orang yang tak melaksanakan perilaku normatif mungkit mendapat sanksi informal ataupun sanksi yang sudah dibakukan. Seorang katolik yang tidak menghadiri misa mungkin akan menerima kunjungan pendeta, pengendara yang melanggar aturan lalu lintas mungkin akan menerima surat tilang, dan seorang pegawai yang malas mungkin akan dipecat. Perilaku-perilaku normatif juga tampak pada perilaku-perilaku sehari-sehari yang menjadi pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi atau menghindari konflik.
Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Kita boleh mendefinisikan sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan kita akan turut membentuk sikap kita, kesepian kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.

Organisasi sosial
Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi. Mungkin ada baiknya kita melihat sepintas dua unit sosial yang dominan dalam suatu budaya.
Keluarga, meskipun merupakan organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, mempunyai pengaruh terpenting. Keluargalah yang paling berperanan dalam mengembangkan anak selama periode-periode formatif dalam kehidupannya. Keluarga memberikan banyak pengaruh budaya kepada anak, bahkan sejak pembentukan sikao pertamanya sampai pemilihan atas barang-barang mainannya. Keluarga juga membimbing anak dalam menggunakan bahasa, mulai dari cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman yang mempengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang ia ingin capai. Bila, misalnya, anak-anak belajar lewat observasi dan komunikasi bahwa diam itu penting atau dihargai dalam budaya mereka, seperti di Jepang, mereka akan merefleksikan aspek budaya tersebut dalam perilaku mereka dan membawanya ke dalam situasi-situasi komunikasi antarbudaya.
Sekolah adalah organisasi sosial lainnya yang penting. Dilihat dari sudut definisi dan sejarahnya, sekolah diberi tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota barunya apa yang terjadi, apa yang penting, dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya. Sekolah mungkin mengajarkan geografi atau mengukir kayu, matematika atau ilmu alam; sekolah mungkin menekankan revolusi yang berlandaskan perdamaian atau kekerasan. Sekolah mungkin pula memberikan suatu versi khusus sejarah yang sesuai dengan budaya. Namun apapun yang diajarkan di sekolah, pelajaran itu ditentukan oleh budaya tempat sekolah itu berada.

Bahasa Verbal
Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikutsertakan pembahasan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemahan bahasa, dan dialek serta logat subkultur dan subkelompok. Dalam perkenalan kita dengan berbagai dimensi budaya ini, kita akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya.
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat relitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.

Pola-Pola Berpikir
Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya. Kecuali bila mereka mempunyai pengalaman bersama orang-orang lain dari budaya lain yang mempunyai pola berpikir yang berbeda, kebanyakan orang menganggap bahwa setiap orang berpikir dengan cara yang sama. Namun, kita harus sadar bahwa terdapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek-aspek berpikir. Perbedaan-perbedaan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan pola-pola berpikir Barat dan pola-pola berpikir Timur. Di barat umumnya orang berpikir bahwa ada suatu hubungan yang langsung antara konsep-konsep mental dan dunia realitas yang nyata. Orientasi ini menuntut pertimbangan-pertimbangan logis dan rasionalitas. Sebaliknya, orang harus menunggu, dan bila kebenaran memang harus diketahui, maka kebenaran itu akan menampakkan diri. Perbedaan utama dalam kedua pandangan ini terdapat pada bidang kegiatan. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya kita.
Oleh Drs. Anthon Simbolon, M.Si